Powered By Blogger

Sabtu, 05 Maret 2011

Hukum Fidusia


Hukum Fidusia

Tutup Rating kamu telah ditambahkan.
Tutup Ada kesalahan dalam memberikan rating.
Hukum Jaminan terhadap jaminan Fidusia khususnya perihal pembebanan dan pendaftaran jaminan Fidusia dapat dicermati dari beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang sebagian merupakan hal baru disamping beberapa hal yang selama ini telah dikenal dan dilaksanakan dalam praktek penyerahan jaminan secara FEO (fiduciaire eigendom overdracht).
Untuk lebih jelasnya Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia memiliki beberapa keistimewaan atau ciri-ciri sebagai berikut :

1. Bersifat accessoir artinya berupa suatu perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok (hutang-piutang) sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 4 dan pasal 7, sebelum utang pokok lunas (termasuk akibat-akibatnya) hak agunan yang timbul akibat penyerahan jaminan secara Fidusia ini tidak dapat dihapuskan termasuk jika piutang dialihkan kepada kreditor lain.

2. Bentuk akta Fidusia harus otentik, formalitas umum dari perjanjian benda jaminan dibuat dalam bentuk akta Notariil, ditulis dalam bahasa Indonesia sebagaimana disebutkan di dalam pasal 5.
Bentuk pembebanan secara Notariil (otentik) dimaksudkan agar Akta Jaminan Fidusia dibuat dihadapan pejabat yang berwenang, yang oleh Undang-Undang telah ditunjuk untuk itu guna mendapatkan nilai "otensitas" dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebagai alat bukti yang kuat bagi para pihak maupun untuk kepentingan pihak ketiga, termasuk ahli waris maupun orang yang meneruskan hak tersebut sebagai tercantum dalam pasal 1868, 1869 dan 1870 BW.

3. Harus didaftarkan dan dicatatkan pada Kantor Pendaftaran Fiducia, ini merupakan hal baru yang diamanatkan oleh Undang-Undang.
Saat pendaftarannya yaitu saat lahirnya jaminan dan memberikan kepada Penerima Fidusia (kreditor) suatu hak kebendaan atau zakelijke zekerheid atau hak agunan yang memiliki hak mendahului atau preferensi.
Oleh karenanya pendaftaran Fiducia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia adalah merupakan suatu hal yang wajib dilakukan sebagai yang dimaksud oleh pasal 11 ayat (1) ; pasal 12 ayat (3) dan pasal 13 ayat (1).

4. Hak agunan timbul sebagai bentuk perwujudan dari hak atas kebendaan atau real right yang diperoleh Penerima Fidusia (kreditor) akibat penyerahan 'kepemilikan' dari Pemberi Fiducia (debitor), hal ini diungkapkan dalam pasal 1 butir (1). Hak agunan memiliki sifat absolut dan mengikuti benda tersebut di tangan siapapun ia berada atau droit de suit, hal mana hak ini tidak akan hapus karena adanya kepailitan atau likuidasi sebagai yang dimaksudkan oleh pasal 27 ayat (3) ; maupun dialihkannya benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia tersebut dalam pasal 20 ; demikian pula terhadap keuntungan yang mungkin diperoleh dari penggunaan obyek jaminan Fidusia seperti dimaksud oleh pasal 10-a dan pasal 21 ayat (4), serta klaim asuransi yang timbul sebagai dimaksud oleh pasal 10-b dan pasal 25 ayat (2).
5. Penyerahan hak 'kepemilikan' bukanlah merupakan penyerahan hak 'milik', hal ini berlainan dengan praktik-praktik penggunaan jaminan Fidusia yang berlangsung selama ini, terutama untuk jaminan kendaraan bermotor, penyerahan jaminan secara Fidusia (FEO) banyak ditafsirkan sebagai penyerahan hak 'milik' oleh para kreditor (khususnya lembaga-lembaga pembiayaan / finance), sehingga di dalam praktik banyak kreditor (Penerima Fidusia) menggunakan 'sita-tarik' atau revindicatoir beslag atas barang yang dianggap 'miliknya' sendiri guna mengambil jalan keluar bagi penyelesaian hutang atau kredit yang bermasalah. Hal ini sama sekali tidak benar.
Pengalihan hak kebendaan yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 ini dilakukan dengan cara 'constitutum possesorium', yaitu benda yang diserahkan hak kepemilikannya tersebut secara fisik harus tetap dikuasai oleh Pemberi Fidusia (debitor) untuk kepentingan Penerima Fidusia (kreditor).
Penyerahan dengan cara yang demikian ini berbeda dengan penyerahan sebagaimana yang dimaksud oleh pasal 584 jo 612 ayat (1) BW (levering) yang bersifat mutlak dan terus menerus. Penyerahan hak kepemilikan menurut Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 semata-mata hanyalah untuk keperluan pelunasan hutang seperti yang dimaksud oleh pasal 1 butir (2) jo pasal 27, sebagai sesuatu yang menimbulkan hak agunan sebagai perwujudan jaminan kebendaan atau security right in rem, yang mempunyai 'hak mendahului' atau preferen.

6. Mengandung unsur Pidana, diancamkan kepada para pihak yang beritikad buruk yang mempunyai maksud dengan sengaja memasukkan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, membuat penyerahan jaminan Fidusia menjadi batal atau tidak lahir, sebagaimana dimaksud oleh pasal 35 ; termasuk juga terhadap mereka yang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan benda yang menjadi obyek Fidusia kecuali 'benda persediaan' sebagai yang dimaksud oleh pasal 23 ayat (2) dan pasal 36.

7. Mempunyai hak 'preferen', Penerima Fidusia (kreditor) mempunyai hak didahulukan (pelunasan piutangnya) daripada kreditor lainnya, termasuk tidak akan terhapus karena adanya kepailitan dari Pemberi Fidusia (debitor) sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 27.













Jaminan Fidusia - Tindakan Eksekutorial Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah Tangan

Oleh: Grace P. Nugroho, SH
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor  yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.  Tetapi untuk  menjamin kepastian hukum bagi  kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan  di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan?
Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).   Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna.  Untuk akta yang dilakukan  di bawah tangan biasanya harus  diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan.
Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta  tersebut. Dalam prakteknya,  di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.
Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang. Saat ini, banyak lembaga  pembiayaan (finance) dan bank (bank umum  maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.
Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang  bergerak yang diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit)  secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi  sebagai penerima fidusia. 
Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang  mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.  Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia  dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong  desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada.
Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan  dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor.
Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  dan dapat digugat ganti kerugian. Dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
  1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. 
  2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi  melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. 
Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat  terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. 
Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai  Pasal  372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. 
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan  porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.  Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.
Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.
Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat. Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah  terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. 
Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

Proses Eksekusi
Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh  pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.
Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.   Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.  Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. 
Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting. 
*) Penulis (Grace P. Nugroho, SH) adalah praktisi hukum yang berprofesi sebagai advokat pada Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung dan Achmad Imam Ghozali, SH and Partner (Law Firm), yang beralamat di Jln. Anggrek No. 19 Rawa Laut. Bandar Lampung. Telp. (0721) 256801, hp. 0812 7200 395  e-mail.













Perlindungan Hak Kreditor Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Lembaga perbankan merupakan salah satu sumber pendanaan bagi pembangunan yang bertugas menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Agar transaksi pinjam meminjam ini dapat berlansung dengan baik, maka dalam praktek dikenal adanya jaminan/agunan dari pihak yang berhutang kepada pihak yang berpiutang. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar hutang tersebut akan dibayar sesuai dengan perjanjian dan jika yang berhutang ingkar janji maka benda yang dijadikan jaminan dapat dijual oleh pihak yang berpiutang untuk menggantikan hutang yang tidak dibayar tersebut. Salah satu lembaga jaminan yang sering digunakan adalah fidusia. Lembaga jaminan fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia. Dalam hal ini yang diserahkan hanyalah hak kepemilikan dari benda tersebut secara yuridis atau yang dikenal dengan istilah constitutum possesorium. Jaminan fidusia diberikan dalam bentuk penunjukan atau pengalihan atas kebendaan tertentu, yang jika debitor gagal melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditentukan, memberikan hak kepada kreditor untuk menjual lelang kebendaan yang dijaminkan tersebut, serta untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut, secara mendahului dari kreditor-kreditor lainnya (droit de preference). Untuk itu perlu adanya suatu kajian terhadap apa akibat hukum apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya. Kendala-kendala apa saja yang dijumpai dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, dan bagaimana perlindungan hak kreditor dengan jaminan fidusia berdasarkan UUD. Untuk mengkaji permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Lokasi penelitian dilakukan di KP2LN Medan. Alat pengumpulan data diperoleh melalui wawancara (depth interview) serta studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa akibat hukum terhadap debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya adalah kreditor hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri, hal ini dikarenakan piutang dengan jaminan fidusia menempatkan kreditor pada kedudukan yang diutarnakan dan sertifikat jarninan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial. Kendala-kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan eksekusi jarninan fidusia adalah untuk melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang dengan parate eksekusi oleh penerima fidusia mengandung 2 (dua) persyaratan utarna yaitu debitor atau penerima fidusia wanpretasi dan telah ada sertifikat jaminan fidusia, dengan penjualan di bawah tangan juga mengandung beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan. Selanjutnya perlindungan hak kreditor dengan jarninan fidusia berdasarkan UUD yaitu Pasal 1 butir 2 UUD memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya yang tersebut tidak akan hapus dengan adanya kepailitan dan/atau likuidasi pemberi fidusia. Adanya kewajiban melakukan pendaftaran jaminan fidusia (Pasal 11 UUD) dilakukan untuk mencegah apabila terjadi benda yang sarna menjadi objek jaminan fidusia bagi kreditor lainnya, sehingga jelas siapa kreditor pertarna yang herhak atas jaminan tersebut. Disarankan agar pemakai/penerima hukum jarninan fidusia senantiasa melakukan pendaftaran atas setiap akta jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan melakukan “cek bersih” atas jaminan fidusianya pada Kantor Pendaftaran Fidusia sebelum melakukan pendaftaran sesuai dengan Pasal 18 UUD. Terhadap penyelenggara hukurnlpraktisi hukum, agar tetap konsisten menjalankan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalarn UUD. Juga agar Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan pengecekan terhadap setiap permohonan pendaftaran yang diajukan, apakah sudah pemah terdaftar atau belum. Jika beIum pernah terdaftar maka Kantor Pendaftaran Fidusia dapat langsung melaksanakan pendaftarannya, akan tetapi sebaliknya apabiia telah pemah terdaftar maka harus dilakukan roya terIebih dahulu, barn kemudian dapat didaftarkan sesuai dengan Pasal 17 dan Pasal 26 UUJF. Oleh karena itu Kantor Pendaftaran Fidusia harus berupaya meningkatkan sumber daya manusianya serta sarana dan prasaranaanya sehingga kendala-kendala yang dihadapi dapat diatasi.




PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA : HAMBATANNYA DILIHAT DARI ASPEK SISTEM HUKUM

A. Latar Belakang
Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sebagaimana disebut di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satunya ialah pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diperoleh melalui kegiatan pinjam-meminjam. Perolehan pendanaan tersebut salah satunya adalah melalui jasa Perbankan, yaitu melalui kredit yang diberikan oleh pihak Bank atau melalui jasa lembaga pembiayaan lainnya. Sarana kredit dalam pembangunan adalah mutlak, karena kredit merupakan urat nadi dalam kehidupan para pengusaha. Pemberian kredit selama ini menggunakan lembaga jaminan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jaminan secara garis besar ada 2 macam, yakni jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Pada saat ini jaminan yang sering digunakan di dalam praktek adalah Jaminan Fidusia, oleh karena Lembaga Jaminan Fidusia adalah jaminan atas benda bergerak yang banyak diminati oleh masyarakat bisnis. Lembaga Jaminan Fidusia itu sendiri sesungguhnya sudah sangat tua dan dikenal serta digunakan dalam masyarakat Romawi. Dalam hukum Romawi, lembaga jaminan ini dikenal dengan nama Fiducia Cum Creditore Contracta (janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur). Isi janji yang dibuat oleh debitur dengan krediturnya adalah bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda sebagai jaminan untuk utangnya dengan kesepakatan bahwa debitur tetap akan menguasai secara fisik benda tersebut dan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas. Dengan demikian berbeda dari Pand (Gadai) yang mengharuskan penyerahan secara fisik benda yang digadaikan, dalam hal Fiducia Cum Creditore pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi objek fidusia. Dengan tetap menguasai benda tersebut, pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksud dalam menjalankan usahanya.
Di samping Lembaga Jaminan Fidusia yang dimaksud, hukum Romawi juga mengenal suatu Lembaga Titipan yang dikenal dengan nama Fiducia cum amico contracta (Janji kepercayaan yang dibuat dengan teman). Lembaga Fidusia ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik benda harus mengadakan perjalanan keluar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepada temannya kepemilikan benda dimaksud dengan janji bahwa teman tersebut akan mengembalikan kepemilikan benda tersebut bilamana si pemilik benda sudah kembali dari perjalanannya. Pada dasarnya lembaga Fiducia cum amino sama dengan lembaga Trust, sebagaimana itu dikenal dalam sistem hukum Anglo-Amerika (Common Law). Trust adalah hubungan kepercayaan (fiduciary) yang di dalamnya satu orang adalah sebagai pemegang hak atas harta kekayaan berdasarkan hukum (Legal Title) tunduk pada kewajiban berdasarkan equity untuk memelihara atau mempergunakan milik itu untuk kepentingan orang lain. Jaminan Fidusia muncul di Negeri Belanda pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 ketika terjadi krisis dalam bidang pertanian di negara-negara Eropa, karena untuk usaha pertanian memberikan gadai dan hipotik sekaligus dapat memberhentikan usahanya karena tidak dapat mengolah tanah pertaniannya dengan tidak adanya alat pertanian. Dengan keadaan yang demikian memang sulit pemecahannya, kreditur menghendaki jaminan yang pasti sedang debitur selain menghendaki kredit juga ingin meneruskan usahanya. Mereka tidak dapat mengadakan gadai tanpa penguasaan untuk mengatasi keadaan ini, karena bentuk gadai yang demikian ini dilarang. Akhirnya praktek menggunakan konstruksi hukum yang ada yaitu jual beli dengan hak membeli kembali secara tidak benar. Akan tetapi karena bukan merupakan bentuk jaminan yang sebenarnya tentu mempunyai kekurangan antara debitur dan kreditur. Keadaan tersebut disebabkan tidak adanya bentuk jaminan yang memadai dan berakhir dengan keluarnya keputusan Hoge Raad 29 Januari1929 yang dikenal dengan Bier Brouwerij Arrest. Di Indonesia, Jaminan Fidusia telah digunakan sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir berdasarkan Arrest hoggerechtshof 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena pengaruh dari konkordansi. Lahirnya Arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil, pengecer, pedagang menengah dan pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya. Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Salah satu contoh kasusnya adalah bahwa Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM. Pada waktu itu, karena sudah terbiasa dengan hukum adat, penyerahan secara constitutum possessorium sulit dibayangkan apalagi dimengerti dan dipahami oleh orang Indonesia. Dalam prakteknya, dalam perjanjian Jaminan Fidusia diberi penjelasan bahwa barang itu diterima pihak penerima fidusia pada tempat barang­barang itu terletak dan pada saat itu juga kreditor menyerahkan barang-barang itu kepada pemberi fidusia yang atas kekuasaan penerima fidusia telah menerimanya dengan baik untuk dan atas nama penerima fidusia sebagai penyimpan. Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum possessorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan cermati, hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian, pemberi gadai tetap menguasai tanah yang digadaikan itu tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dan agar terciptanya suatu peraturan perundangan-undangan secara lengkap dan komprehensif yang tidak berdasarkan kepada yurisprudensi lagi, maka lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disingkat dengan UUJF).
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 (BN.No.5847 hal 113-313) tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Dalam hal ini dapat diuraikan antara lain:
a. Dalam Jaminan Fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dilakukan dengan cara “Constitutum Possessorium (Yerklaring van Houderscahp)”, dengan pengertian pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima fidusia. Pengalihan hak kepemilikan tersebut berbeda dan pengalihan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 584 juncto Pasal 612 ayat (1) KUHPerdata. Dalam hal Jaminan Fidusia, pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan semata­mata sebagai jaminan/agunan bagi pelunasan hutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.
b. Sifat Jaminan Fidusia.
Dalam pengertian yang diberikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah ditegaskan bahwa Jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (Zaakelijke Zekerheid, Security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia (Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999)
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 dinyatakan bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian asesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi, maka perjanjian Jaminan Fidusia memiliki sifat: Ketergantungan terhadap perjanjian pokok; Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok; Sebagai perjanjian bersyarat, yang hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang diisyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.
UUJF mengatur bahwa yang dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dialihkan, dalam hal ini dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar,yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan yang tidak dapat dibebani oleh Hak Tanggungan. Apabila kita memperhatikan pengertian benda yang dapat menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut maka yang dimaksud benda adalah termasuk juga piutang (Receiables). Khusus mengenai hasil dari benda yang menjadi Jaminan Fidusia, undang-undang mengatur bahwa Jaminan Fidusia meliputi hasil tersebut dan juga klaim asuransi kecuali diperjanjikan lain. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus jelas dalam akta Jaminan fidusia baik identifikasi benda tersebut, maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis bendanya, merk bendanya dan kualitasnya. Perjanjian fidusia adalah bersifat asesoir, adanya perjanjian ini tergantung pada perjanjian pokok yang biasanya berupa perjanjian peminjaman uang pada Bank. Di dalam praktek Perbankan perjanjian fidusia ini sering diadakan sebagai tambahan jaminan pokok manakala jaminan pokok itu dianggap kurang bagi pemenuhan jaminan atas kredit yang dicairkan. Adakalanya fidusia juga diadakan secara tersendiri dalam arti tidak sebagai tambahan jaminan pokok, yaitu sebagaimana sering dipakai oleh para pegawai kecil, pedagang kecil, pengecer, dan lain-lain sebagai jaminan kredit mereka yang dimintakan pada Bank.
Konsekwensi dari perjanjian Asesoir ini adalah bahwa jika perjanjian pokok tidak sah, atau karena sebab apapun hilang berlakunya atau dinyatakan tidak berlaku, maka secara hukum perjanjian fidusia sebagai perjanjian asesoir juga ikut menjadi batal. Konstruksi yuridis dari fidusia ini adalah penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda milik debitur yang menjadi objek Jaminan Fidusia kepada kreditur, dengan penguasaan atas benda tersebut tetap ada pada debitur dengan ketentuan bahwa apabila debitur telah melunasi hutangnya tepat pada waktu yang telah diperjanjikan maka kreditur wajib mengembalikan hak milik atas benda tersebut kepada debitur. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, diatur mengenai tata cara pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran ini adalah merupakan untuk pertama sekali dalam sejarah hukum di Indonesia karena sebelum adanya UUJF. Fidusia tidak sampai mengatur tentang prosedural dan proses pendaftaran, sehingga tidak ada kewajiban pendaftaran tersebut bagi jaminan fidusia. Ketidakadaan kewajiban pendaftaran tersebut sangat dirasakan dalam praktek sebagai kekurangan dan kelemahan bagi pranata Hukum Fidusia. Sebab di samping menimbulkan ketidakpastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran Jaminan Fidusia tersebut menyebabkan Jaminan Fidusia tidak memenuhi unsur publisitas, sehingga susah dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktek, seperti adanya fidusia dua kali tanpa sepengetahuan krediturnya, adanya pengalihan barang fidusia tanpa sepengetahuan kreditur, dan lain-lain. Pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan dan pendaftaran Jaminan Fidusia memberikan hak yang didahulukan (Preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain. Di samping itu pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan salah satu wujud dari asas publisitas. Dengan pendaftaran, diharapkan agar pihak debitur terutama yang nakal, tidak lagi dapat memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual ataupun mengalihkan objek Jaminan Fidusia kepihak ketiga tanpa sepengetahuan kreditur. Pendaftaran fidusia wajib didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia, untuk pertama kali pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta, kemudian secara bertahap, sesuai keperluan, didirikan di ibukota propinsi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat juga didirikan di setiap Daerah Tingkat II yang harus dapat disesuaikan dengan Undang­Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2001 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.10 Tahun 2002. Sejak tanggal 1 April 2001 Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah tidak lagi melakukan Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia dan pendaftaran dilaksanakan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di tempat kedudukan pemberi fidusia.
Pada saat ini pendaftaran fidusia didaftarkan oleh penerima Jaminan Fidusia ke kantor pendaftaran fidusia di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang letaknya di ibukota propinsi. Permohonan diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya, dengan melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia dan mengisi formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Lampiran I Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000, yang isinya:
1.    Identitas pihak pemberi dan penerima yang meliputi:
Nama lengkap;
Tempat tinggal/tempat kedudukan;
Pekerjaan.
2.    Tanggal dan nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat akta jaminan fidusia
3.    Perjanjian pokok yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.
4.    Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Lihat penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).
5.  Nilai penjamin
6.  Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia
Setelah keluarnya UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, maka pendaftaran fidusia adalah merupakan suatu hal yang yang tidak dapat dipisahkan dari Jaminan Fidusia itu sendiri. Dengan pendaftaran, maka akan memberikan suatu kepastian hukum bagi kreditur dan pihak lain yang berkepentingan. Akan tetapi di dalam kenyataannya dalam praktik, masih saja banyak kita jumpai Jaminan Fidusia itu tidak didaftarkan, disebabkan oleh berbagai macam alasan-alasan dan masih banyaknya permasalahan mengenai Pendaftaran Jaminan Fidusia itu sendiri. Permasalahan itu antara lain mengenai hambatan-hambatan yang dijumpai di dalam pendafaran jaminan fidusia dan bagaimana upaya untuk mengatasi hambatan di dalam pendaftaran jaminan fidusia.

























Surat MABES POLRI No.Pol : B/446/XI/2007KR/Divbinkum 9 Nopember 2007 yang ditandatangani oleh Kepala Divisi Pembinaan Hukum Polri Inspektur Jendral Polisi DR Teguh Soedasrsono mengatakan bahwa pelaporan pidana yang dilakukan oleh lembaga finance atas sangkaan terjadinya penggelapan dan pengalihan barang jaminan fiducia yang dilakukan oleh debirurnya kepada pihak kepolisian, maka penyidik polri wajib menerima dan melakukan penyidikan dan tidak boleh menolak dengan alasan bahwa hal tersebut adalah masalah perdata. Hal ini sesuai dengan UU 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia psl. 35 dan 36.

Dengan dikeluarkannya surat ini, maka para lembaga finance merasa plong, karena memang pada kenyataannya, pelaporan yang dilakukan lembaga finance selalu tidak diproses manakala telah terjadi penggelapan unit yang dilakukan oleh debiturnya.

Tampaknya, lembaga finance harus kembali gigit jari karena surat MABES POLRI sebelumnya kembali dimentahkan oleh surat ke 2 yaitu surat dari Kabareskrim No.Pol : B/2110/VIII/2009/Bareskrim tertanggal 31 Agustus 2009 yang ditanda-tangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri , Komisaris Jendral Drs Susno Adji., S.H.,M.H., M.Sc Tentang Pprosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen.

Surat ke dua ini memuat 2 pokok yang harus diikuti oleh penyidik Polri di seluruh Indonesia :

1. Pelaporan yang dilakukan oleh debitur atas ditariknya unit jaminan oleh lembaga fnance ketika debitur itu wanprestasi, tidak boleh diproses oleh penyidik polri dengan psl-psl pencurian, perampasan dan lain sebagainya.

2. Pelaporan yang dilakukan oleh lembaga finance ketika mengetahui debiturnya melakukan pengalihan unit jaminan, tidak boleh diproses oleh penyidik polri dengan psl-psl penggelapan dll sebagainya.

Yang perlu disayangkan adalah bahwa surat bareskrim ini hanya mempertimbangkan KUHAP dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai bahan rujukan dikeluarkannya surat tersebut TANPA MEMPERTIMBANGKAN UU No. 42 Tahun 1999.

Sehingga dengan demikian, masih menurut surat bareskrim, maka bila terjadi 2 persoalan diatas penyidik harus menolak proses laporan dan menyarankan kepada pihak pelapor untuk menyelesaikannya di BPSK karena badan itulah yang berwenang melakukan penyelesaian sengketa konsumen.

Jadi siap-siap sajalah bagi para lembaga finance yang telah memiliki sertipikat fiducia untuk GIGIT JARI lagi....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar